Setelahnya Sang Hyang Manikmaya dinobatkan menjadi Raja Tribuana di kahyangan Suralaya, maka Sang Hyang Tunggal dan kedua isterinya yaitu Dewi Darmani dan Dewi Wirandi mokswa menuju swargaloka sunyaruri. Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga untuk sementara waktu ditugaskan mendampingi Sang Hyang Manikmaya, sebelum mereka nantinya turun ke marcapada.
Sang Hyang Manikmaya bergelar Sang Hyang Jagatnata atau Sang Hyang Otipati (Batara Guru atau Batara Tengguru). Bersama Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga, ia mulai menata Suralaya, membuat kahyangan-kahyangan baru yang akan diperuntukan bagi persemayaman para dewa yang menjadi keturunannya nanti. Namun walau pun demikian, Sang Hyang Manikmaya mempunyai ganjalan dihatinya, sebab ia telah mendengar bahwa kakak sulungnya yang lain ibu dari Dewi Darmani, yaitu Sang Hyang Rudra / Sang Hyang Dewa Esa / Sang Hyang Rancasan yang menjadi raja di kahyangan Keling (negeri Selong) telah membangun dengan megah kahyangan yang dahulunya telah diwariskan oleh Sang Hyang Tunggal. Bahkan, konon menurut kabar yang ia dengar, Sang Hyang Rudra / Sang Hyang Dewa Esa / Sang Hyang Rancasan mulai dipuja-puja oleh para pengikutnya. Hal ini dianggap Sang Hyang Manikmaya akan merongrong kewibawaannya sebagai Raja Tribuana, maka tersirat dalam benaknya untuk menyingkirkan kekuasaan lain yang menyaingi Suralaya.
Sang Hyang Manikmaya berupaya keras mencari cara untuk dapat menyingkirkan Sang Hyang Rancasan. Harus ada alasan, sebab selain Sang Hyang Rancasan adalah kakak sulungnya walau beda ibu, tapi juga Sang Hyang Rancasan memiliki kesaktian yang luar biasa. Tidak mungkin baginya sendiri dapat mengalahkan Sang Hyang Rancasan, maka tidak ada jalan lain kecuali menghasut kedua saudaranya, yaitu Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga.
Dihadapan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga ia menceritakan kegelisahan hatinya, yaitu keberadaan kahyangan Keling yang telah dianggap akan menandingi kahyangan Suralaya. Sang Hyang Manikmaya juga menghasut kedua saudaranya, bahwa Sang Hyang Rancasan berkeinginan merebut Suralaya dan ingin menjadi raja Tribuana. Selain itu, Hyang Manikmaya bercerita juga tentang sebuah pusaka yang konon dikeramatkan oleh leluhur mereka. Pusaka yang sangat luar biasa, tidak tertandingi oleh pusaka-pusaka lainnya di jagat pramuditya, pusaka Jamuslayang Kalimasada.
Menurut Hyang Manikmaya, Jamuslayang Kalimasada sebenarnya diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur mereka, tapi kemudian oleh ayahanda mereka dititipkan kepada putra Hyang Rancasan sebagai puytra yang tersulung sebelum ayahanda mereka melakukan tapa brata dan terdampar di negeri Samudralaya. Menurut Sang Hyang Manikmaya pusaka tersebut bukanlah dianugerahkan atau diwariskan kepada Hyang Rancasan, sifatnya hanya ditipkan untuk sementara waktu.
Awalnya Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga tidak terpancing oleh pengaduan Sang Hyang Manikmaya, namun karena kecerdikan Sang Hyang Manikmaya dalam menghasut, maka Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga pada akhirnya berubah pikiran setelah mendengar kisah pusaka Jamuslayang Kalimasada. Mereka lalu sepakat untuk bertandang ke kahyangan Keling (negeri Selong) guna meminta kembali pusaka Kalimasada yang dianggap telah ditipkan ayah mereka kepada kakak sulungnya.
Setibanya di kahyangan Keling, Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Manikmaya langsung menghadap kakak sulungnya. Sang Hyang Rudra / Sang Hyang Rancasan yang bergelar Sang Hyang Dewa Esa menyambut baik kedatangan ketiga adiknya itu, mereka lalu terlibat pembicaraan.
Dalam percakapan selanjutnya diantara mereka, Sang Hyang Manikmaya meminta pusaka Jamuslayang Kalimasada dengan alasan untuk disemayamkan di Jonggring Salaka sebagai pusaka kadewatan, karena dirinya telah dinobatkan menjadi raja Tribuana di Suralaya. Dengan halus Sang Hyang Rancasan menolak, ia menganggap pusaka itu adalah amanat leluhur yang harus ia jaga & dipertanggung jawabkan amanatnya. Sang Hyang Manikmaya menuduh sulungnya telah melawan keputusan ayahanda mereka yang telah menobatkan dirinya sebagai raja Tribuana. Perbincangan berganti dengan perdebatan, dan akhirnya Sang Hyang Manikmaya menantang Sang Hyang Rancasan untuk mengadu kesaktian. Perang tanding pun tidak terelakan lagi diantara mereka.
Bumi gonjang-ganjing, marcapada kembali diguncang oleh nafsu angkara murka putra-putra Sang Hyang Tunggal. Gunung-gunung menggelegar mengeluarkan laharnya, bukit-bukit longsor bermuragan. Perang tanding terjadi antara Hyng Manikmaya dengan Hyang Rancasan. Keduanya saling mengadu kedigjayaan dan saling memamerkan aji-aji kesaktian. Namun dalam perang tanding itu, terlihat Sang Hyang Rancasan lebih unggul dibandingkan Sang Hyang Manikmaya. Beberapa kesaktian dan pusaka-pusaka kadewatan milik Manikmaya tidak mampu menghadapi kesaktian dan kedigjayaan Sang Hyang Rancasan. Saat Sang Hyang Manikmaya bertiwikrama menjadi berhala sewu, Hyang Rancasan tidak kalah hebat, ia bertiwikrama lebih besar dari raksasa jelmaan Hyang Manikmaya. Begitu seterusnya, setiap Manikmaya masuk ke dalam perut bumi, Hyang Rancasan ada dibelakangnya. Dan setiap Manikmaya berdirgantara di angkasa, Rancasan pun selalu ada di belakangnya. Manikmaya keteteran menghadapi kesaktian Hyang Rancasan, maka Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya segera terjun ke palagan yuda demi membantu Manikmaya, keduanya langsung menerjang Sang Hyang Rancasan. Mereka menyerang secara serempak dari segala penjuru, ada yang menyerang dari arah depan saling berhadapan, ada yang menyerang dari belakang, dari angkasa dan dari bawah bumi.
Perang kejayaan diantara mereka menggemparkan marcapada. Terjadi hujan badai, angin prahara, halilintar dan kobaran api yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka hingga menghancurkan kahyangan Keling dan meluluh lantakan bumi Selong. Dan hingga pada akhirnya, Sang Hyang Rancasan palastra ditangan saudara-saudaranya. Tubuhnya terbelah menjadi dua oleh sebab terjadi saling tarik menarik diantara Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Rancasan dan Sang Hyang Antaga. Namun sesaat setelah kematian Sang Hyang Rancasan, di atas angkasa terdengar suara tanpa rupa yang tidak lain adalah ‘ruh’ dari Sang Hyang Rancasan yang tidak menerima perlakuan saudara-saudaranya. Ia mengancam, kelak disuatu hari akan menuntut balas atas perbuatan mereka. Ia akan selalu membayang-bayangi kekuasan Manikmaya dan akan selalu mengikuti langkah Ismaya juga Antaga di marcapada. Ketiganya tertegun mendengar ancaman dari ruh Hyang Rancasan. Kesadaran dan penyesalan selalu berada diakhir kisah setelah semuanya terjadi, terlebih lagi perbuatan mereka telah mengusik ketenangan Sang Hyang Tunggal di swargaloka sunyaruri. Sang Hyang Tunggal dalam wujud suara tanpa rupa mengutuk perbuatan Manikmaya yang telah menghasut kedua saudaranya hingga membunuh kakak sulung mereka. Kelak Hyang Manikmaya akan menerima karmanya, yaitu kakinya akan menjadi kecil sebelah dan lemah, maka dengan begitu ia akan mendapat julukan sebagai Sang Hyang Lengin. Giginya akan bertaring sebesar buah randu dan dinamakan Sang Hyang Randuana. Tangannya akan bertambah menjadi empat dan akan mendapat nama Syiwa, dan yang terakhir dalam perjalanannya nanti tubuhnya akan terbakar oleh racun ganas sehingga menjadi biru, maka namanya pun bertambah menjadi Sang Hyang Nilakanta.
Sang Hyang Manikmaya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah menerima kutukan dari ayandanya, begitu juga dengan Sang Hyang Ismaya dan Antaga. Perihal pusaka yang diperebutkan itu kini telah diambil kembali oleh Sang Hyang Tunggal dan pada saatnya nanti pusaka itu akan diwariskan kepada para kesatria marcapada yang sanggup mengembannya, Jamuslayang Kalimasada.